Kamis, 03 November 2011

Cerpen CINTA ABSTRAK

Malam ini malam sabtu malam yang menyenangkan karna sabtu adalah hari liburku selain minggu, aku baru saja bisa menghela nafas panjang setelah dikantor aku terasa terpenjara dengan pekerjaan yang menumpuk. Ini adalah pekerjaan yang mudah tapi merepotkan, simple tapi memusingkan hampir-hampir kepalaku mau pecah memikirkan ini. Sudah satu minggu lebih aku membereskan arsip surat masuk dan surat keluar tapi belum selesai juga alesannya jelas karena arsip surat- surat yang harus ku tata pertanggal itu meliputi tahun 2005, 2006, 2007, 2008 bisa di bayangkan kan berapa ratus lembar surat yang harus aku bereskan bila 1 hari minimal ada 2 surat yang datang. Ini adalah baru sebagian tugasku sebagai staf di sebuah Kecamatan di Kota Cilegon. Aku selalu menyebut Ya Allah, Ya Allah di setiap jeda saat membereskan arsip- arsip ini, seolah aku berharap Tuhan mau memberi keringanan atas semua beban pekerjaan ini beruntunglah aku selalu tahu bagaimana menyikapi masalah ini, Bagaimana? Aku hanya berusaha menikmati kegiatan ini dan menjadikan kegiatan ini ladang amal ikhlasku untuk Tuhanku yaitu Allah. Saat ini pukul 19.00 wib. Sedari tadi aku duduk disebuah sofa diruangan dalam rumahku yang mungil, sebuah ruangan yang multiguna, ruang tamu sekaligus ruang keluarga. Karena disinilah aku dan keluargaku biasa menerima tamu, bercengkrama dengan anggota keluarga juga untuk menonton TV. Sejak tadi mataku menatap setengah serius pada TV ukuran 21 inci bermerk Sharp yang sedang dalam keadaan on/ menyala, dilayarnya tayangan sinetron tema percintaan tengah berlangsung. Itu adalah tayangan favoritku maklum aku adalah orang yang cukup romantis. Tiba-tiba ada rasa sejuk yang menyeruak dada, dadaku terpenuhi oleh kerinduan yang baru saja hadir. Otakku merespon hal ini dan membuatku mengerti bahwa aku rindukan seseorang. Aku tahu pada siapa malam ini aku merindu, kepada sebuah sosok yang misterius yang jauh di sana di pelabuhan Palembang. Aku rindu pada Aldo, cowok lulusan sebuah Sekolah pelayaran Jakarta juga sekolah pelayaran Surabaya. Aku melangkah santai kearah kamarku aku membuka pintu kamarku yang bercat cokelat tua, pandanganku kuarahkan pada sebuah benda diatas meja belajarku. Aku meraih benda persegi panjang berkeyped warna abu- abu, itulah hpku hp jadul merk nokia type 1600. Kutekan no Aldo 081 878 555 xxx, setelah sekian menit tersambung lalu terdengar ringbacktone berlogat daerah terdengar entah apa judulnya : siapa bilang pelaut mata keranjang dst. Sepertinya berlogat manado. Aku jadi teringat tentang suatu hal. Suatu hari Aldo pernah bilang bagus nggak lagunya?, aku bilang bagus dari lirik lagu itu aku tahu dia ingin menunjukkan bahwa mudah- mudahan aku bisa mengerti bahwa nggak semua pelaut itu hatinya berlayar- layar seperti orangnya yang menggunakan kapal untuk berlayar mengarungi lautan dan berlabuh dipelabuhan manapun sesuai tujuan perusahaan. Itulah yang selalu jadi masalah tiap kali aku memiliki seseorang special yang bekerja sebagai pelaut aku selalu sangsi pada kesetiaan yang dimilikinya, maklum pelaut terkenal dengan cap suka main perempuan mungkin itu juga didukung dengan kantong para pelaut yang selalu tebal maklum gaji mereka 1 bulan belasan juta rupiah. Sebenernya aku mulai percaya kata- katanya. Kata- kata dari seorang playboy cap ikan asin macem dia. Mungkin karena kehadiran rasa indah ini dihatiku yaitu rasa yang bernama cinta. Gimana nggak dia adalah seseorang yang cukup sering berkomunikasi denganku lewat telepon, selalu memberi semangat dan perhatian. Kenapa aku sebut dia playboy cap ikan asin? karena dia pernah bercerita dia adalah seorang playboy yang telah taubat. Dan aku sangsi akan ketaubatannya dia. Mana ada playboy yang taubat! seorang playboy pasti playboy forever kecuali kehendak Tuhan itu lain soal. Aku jelas tahu bagaimana menghadapi cowok type begini yaitu dengan tidak memberikan semua cinta di hati ini kepadanya karena aku takut kecewa nantinya. Aku beri dia julukan playboy cap ikan asin karena dia suka makan asin! yah enggaklah karena dia bukan cowok playboy yang dengan mudahnya mempermainkan hatiku. Mungkin kalau playboy cap ikan hiu aku agak kewalahan menghadapinya karena cowok type begini lebih ganas lagi menaklukan hati perempuan he..he..he.. Malam ini adalah puncak kebimbangan hatiku dari beberapa hari kemaren, aku bingung apakah aku harus jujur atau tidak tentang kedekatan aku dengan mantanku. Beno, dialah sosok laki- laki yang selalu menghantuiku tiap tahun walaupun aku selalu saja punya tambatan hati yang awalnya untuk pelarian, jelas jika aku harus jujur di palung hatiku ini cuma ada satu nama Beno walaupun aku harus bersusah payah melupakannya. Aku sendiri nggak mengerti kenapa aku selalu saja masih punya cinta untuk Beno padahal dia pernah menyakiti hatiku dengan sadis, Beno pernah memutuskan hubunganku dengannya begitu saja karena sebuah alasan adanya perempuan lain di hatinya. Malam ini jelas konsentrasiku bukan pada Beno tapi Aldo, malam ini juga aku putuskan untuk jujur pada Aldo kalau aku main hati disini. “Halo?”, Kataku. “Halo sayang”, kata Aldo di seberang sana. Hatiku meleleh mendengar Aldo bilang sayang ke aku meskipun ini bukan yang pertama kalinya dia panggil aku begitu. Entah malam ini panggilan sayang padaku terdengar sangat manis. Kata sayang ini membuat aku bisa tersenyum manis, aku bahagia. Karena kata- kata itu membuat aku berpikir dia sayang padaku dan tidak ada perempuan lain di hatinya selain aku. “Lagi apa mas?”. “Lagi di kamar, mau bobo”. “Oh gitu”. “Iya”. “Kamu lagi dimana?” “Dirumah”. “Eh iya mas katanya kapalmu mau ke Merak?” “Iya tapi sekarang kapalku lagi diPalembang, terus nanti ke Ciwandan terus ke Suralaya”. “Berarti bukan ke Merak doong!”. Aldo diam. “Koq kamu nggak bilang ada di Palembang?”. “Eu…Eu… “,Ujar Aldo seperti mencari- cari jawaban yang pas supaya tidak menyakitiku. “Mas aku mau jujur kamu jangan marah ya?” “Mmm, iya”. “Mas aku kemaren deket lagi sama mantan aku tapi kita nggak pernah ketemuan Cuma di sms dan telefon”. “Oh mm eh aku juga mau jujur sama kamu sebenarnya aku juga sama sepertimu aku lagi ada beberapa cewek yang ngedeketin dan salah satunya perempuan yang tinggal diBogor udah mau tiga bulan desember ini”, Aku tersentak hatiku mendadak seperti tergores sebuah benda, ini bukan goresan silet ini belati, perih!. Padahal dari dulu sampai kemaren dia bilang cewek specialnya cuma aku. Pantesan! (Maksud aku: pantesan akhir- akhir ini jarang menelepon). Tapi aku tetap mendengarkan dia bertutur kata walaupun hatiku makin perih mendengarnya. “Dia orang jawa tadinya kerja diPalembang, sekarang nggak kerja sekarang dia Bogor”. “Oh gitu ucapku dengan nada agak BT”. “Kenal dimana?”. “Ada dech, ups rahasialah”, dia bilang. “Oh gitu, Mas aku kenal kamu dari 0( nol)”, maksudnya aku mengenal Aldo sejak dia belum bekerja- belum punya penghasilan, sejak dia masih sekolah pelayaran di Surabaya. Artinya Betapa Aldo tega mengkhianati cinta aku padanya padahal aku tulus mencintainya. “Koq ngomong gitu”. “Aku senang kamu bisa sepertiku berarti seimbangkan!, tapi kamu tega!”. “Terus mana kamu bilang kamu begini, begitu ? karena Ano pernah bilang dia setia padaku. . “Kamu ego! Kita sama- sama cari yang terbaik kalo jodoh kan kita nggak tahu”. “Oh mulai lagi playboynya, oh siapa sih dia pakai mau jadi saingan aku segala selevel gak kaya aku!”, aku emosi. Tiba- tiba telefon mati, pulsaku habis, malunya aku. Hatiku perih aku benar- benar tak kuasa menerima kejutan ini , kejutan yang seumur hidup tidak pernah aku inginkan apalagi aku impikan, air mata mengalir dari sudut mataku mencari muaranya, mendengar ini semua aku shock, kejadian ini membuatku mematung aku diam sesaat aku nggak tau apa yang akan aku lakukan malem ini, spontan aku mengambil maenan game air buatan china punya keponakanku di meja yang tak jauh dari tempatku duduk, aku memijit bergantian tombol- tombol itu, ah jelas aku nggak ada niat memainkannya. Aku cuma cari pelarian dari kekecewaan dan kekesalanku malam ini. Aku memencetnya cepat dan berulang sampai aku sadar ada hal penting yang harus aku lakukan. Aku harus sms Aldo!. Aku mengirim 4 (empat) sms salah satunya : Aku kecewa sama kamu, mulai sekarang terserah kamu! hubungan kita sampai di sini, terimakasih atas semuanya. Aku tahu malam ini aku dapat kado dari Tuhan. Kado karma cinta karena aku disini selingkuh ama satu cowok, si Aldo di sana malah punya 4 (empat) cewek!. Semua ini salahku akulah yang pertama kali selingkuh sekitar sekitar 7(Tujuh) bulan yang lalu aku selingkuh dan selingkuh lagi desember 2008 ini. Perselingkuhan ini aku lakukan karena ketidakjelasan jelasan sosok Aldo itu seperti apa wajahnya?, karena kita memang belum pernah ketemuan. Hubungan ini seperti jalinan cinta di dunia maya, hubungan cinta lewat chattingan di internet yang nggak ada webcamnya, yang nggak pernah saling tahu wajah kita dan suara kita, tapi kalau lewat telefon kan kita berdua saling denger suaranya, kalo aku bilang ini cinta abstrak, kesannya kita berdua ini kayak orang bodoh yang ngeduluin imaginasi dari pada logika. Sebenernya dari dulu kita bisa saling tukar foto lewat hp tapi aku nggak mau aku takut dia kecewa kalo aku nggak secantik yang dia pikir dan sebaliknya. Dan jika benar Aldo kecewa tentunya Aldoo akan menghilang dari kehidupanku disisilain aku belum siap kehilangan dia karena aku sayang dia. Tapi walaupun aku dan Aldo menjalin hubungan cinta abstrak seperti ini, aku tidak sembarangan menjalin hubungan. Aku tahu background dia, dia juga tahu background aku, aku tau dia tinggal dikota apa, dia sekolah dimana, kerja dimana, sahabatnya siapa,dll. Akhirnya malam ini aku sadarkan diri aku memang harus ikhlas melepas Aldo. Bagus, toh aku nggak perlu pusing- pusing dengan cara apa? dan bagaimana? meng- endingkan hubungan aku dengan Aldo, karena beberapa hari yang lalu aku sudah berniat hanya menjalin cinta dengan Beno. Dia seorang mahasiswa salah satu kampus di Yogyakarta dan juga seorang vokalis plus gitaris (melodi) dari sebuah Band aliran Punkrock di kota itu. Yang membuat hatiku selalu selalu rindu meskipun aku memiliki Aldo, apa mungkin Beno jodohku?. Di benakku kini yang ada hanya keputusan aku tak ingin lagi membagi cinta. Cinta Beno terlalu indah untuk dipermainkan dan dialah laki- laki yang aku yakin bisa bahagiakan aku. Penulis : Ocha Gladiol

Cerpen I HATE STRAWBERRY

Sepulangku dari kantor pukul 20.30 wib yang lalu. Aku duduk lunglai dan menyimpan kesal di sebuah sofa di salah satu sudut ruang tengah ini. Bahkan pakaian kerjapun aku biarkan masih melekat di tubuhku. Aku baru saja pulang lembur dari kantor maklum pekerjaan aku sedang banyak- banyaknya. Aku Anggi Pamela seorang staf Administrasi sebuah kantor swasta di kawasan Jalan Mayjen Soetoeyo Km. 7 Kota Cilegon. Malam ini aku sedang tak bersemangat untuk melakukan hal apapun. Fokusku hanya handphone dan jam dinding di atas sana. Secara bergantian mataku memandangi dua benda itu berkali- kali. Aku sedang menanti handphoneku bernyanyi. Entah mau berupa sms atau telepon. Yang penting isinya adalah ucapan selamat ulang tahun untukku dari sahabat- sahabatku. Maklum hari ini tanggal 20 Juli 2010, hari kelahiranku. Sebab sejak pagi tadi tak ada satupun sms atau telepon dari mereka. Aku juga tidak mengerti mengapa mereka sampai tak memberikan ucapan selamat ulang tahun padaku. Mengapa mereka tega melupakan hari yang sangat penting dalam hidupku. Tapi aku masih punya sisa harapan pada menit- menit terakhir sebelum jam 21.00 wib. Soalnya bila lewat dari jam segitu. sudah tak akan mungkin ada sms atau telepon lewat dari jam segitu. Itu diluar etika bagi kami. Bagiku mendapat ucapan selamat ulang tahun dari sahabat- sahabatku adalah hal yang sangat berharga. Walaupun misalnya mereka sedang tak bisa memberikan aku kado karena sedang tak punya uang. Itu tak masalah bagiku. Ucapan selamat ulang tahun dari sahabat- sahabatku itu bagiku lebih dari cukup. Di hari ulang tahunku kali ini aku sama sekali tidak melakukan perayaan apapun sebab aku tidak punya waktu untuk beli cake. Aku tidak mungkin menyuruh keluargaku membeli cake ulangtahun. Karena Ibu, Bapak dan dua (dua) adikku sedang berada di kampung mbahku di Yogyakarta. Sejak beberapa bulan terakhir ini pekerjaanku sangat menyita waktu. Bahkan aku sering lembur. Akhirnya menit- menit terakhir itu telah lewat. Penantianku sejak jam 20.30 wib Hanyalah sia- sia belaka. Sekarang jarum jam di sana menunjukan 21.00 wib. Pupus sudah harapanku. Aku dilanda kecewa berat. Air mataku deras mengalir ke muaranya. Sesekali aku menyekanya dengan tissue yang aku ambil dari kotaknya, dari atas meja di depanku. Tiba- tiba saja adegan kesedihan ini harus berhenti karena aku mendengar bunyi bel. Hatikupun bertanya- Tanya. Siapa gerangan yang bertamu ke rumah ini malam- malam begini? Jangan- jangan ada orang jahat mau masuk rumah ini, aku mulai berprasangka buruk. Aku mengucap naudzubillahimindzalik. Agar Allah menjauhkanku dari segala sesuatu yang buruk. Aku melangkah menuju pintu depan dengan diiringi jantung yang berdegup kencang, takut sesuatu yang buruk akan terjadi. Aku membuka daun pintu dengan ucapan lirih bismillah dalam hati. “Surprise”,kata semua tamuku malam ini. Mereka Sally, Diva, Ela, mereka semua sahabatku. Mereka melanjutkan aksinya dengan menyanyikan lagu Happy Birthday. Tapi ada sesuatu yang membuatku menghentikan kejutan ini. Sesuatu yang berada di atas permukaan cake yang dibawa Sally. selain lilin2 kecil warna- warni yang menyala itu. “I hate strawberry!!”, Aku spontan menjerit melihat beberapa buah strawberry di sana. Di atas Strawberry Black forest itu. Tanpa basa- basi aku langsung melangkahkan kaki meninggalkan mereka, membawa pergi kekecewaan yang berat di malam ini. Aku menghempaskan tubuhku di sofa kotak berwarna cokelat yang terletak di ruang tengah ini. Ekspresi wajahku yang semula berseri- seri berubah menjadi super bete. Bagaimana tidak sejak pagi aku menanti ucapan selamat ulang tahun dari mereka. Tapi malah seperti ini hasilnya. Sesuatu yang sama sekali tidak aku harapkan. Mereka menghambur menghampiriku, penasaran dengan sikapku malam ini. Pertanyaan demi pertanyaan mulai terlontar dari bibir mereka. “Nggi ada yang salah ya dari kita?”, tanya Sally padaku. Aku diam membisu. Aku bingung harus berkata apa sebab beberapa bulan terakhir aku benci strawbery. Karena setiap melihat strawberry aku selalu ingat pada Berry, mantan pacarku yang super menyebalkan dan sejak beberapa bulan yang lalu aku sedang belajar melupakan makhluk yang bernama Berry itu. Tapi aku juga merasa bersalah dengan sikapku tadi. Kesannya aku tidak menghargai kejutan dari mereka. Dilema itu bercampur aduk menjadi satu. Aku pikir saat ini diam lebih baik dari aksi apapun. “Tadi kamu bilang kamu benci strawbery, kok bisa?. Padahal diantara kita, kamu kan yang suka banget sama buah strawberry?”, kita semua berburu strawberry sampai malam- malam begini sampai Lembang Bandung, soalnya di toko kuenya stoknya habis, di minimarket dan supermarket di sekitar Kota Cilegon juga enggak ada terpaksa kita berburu sampai Bandung, kita nggak ada niat bikin kamu bete, Nggi, kita niatnya kasih surprise buat kamu Nggi, kita ingin kamu happy banget di hari ulang tahun kamu, Nggi dan kita niatnya kumpul- kumpul, kan sudah lama enggak kumpul- kumpul, maafin kita Nggi”, ujar Diva dan yang lain mengiyakan. Aku terharu mendengar penjelasan Diva. Tapi aku masih enggak tahu harus bicara apa. Semua ini sudah membuat aku serba salah. Aku terus diam. “Cerita dong Nggie sama kita please…, kata Dira memohon dan yang lain mengiyakan merobohkan kediamanku. “Terimakasih ya Sally, Diva, Ella kalian semua sudah repot- repot menyiapkan surprise ini, sebelumnya aku minta maaf sebesar- besarnya sama kalian, bukannya aku nggak mau menerima cake pemberian kalian apalagi kalian mesti capek- capek mencari strawberry, beberapa bulan terakhir ini aku memang benci sama strawberry soalnya setiap aku melihat strawberry atau hal- hal yang berbau strawberry aku ingat sama Si Bery, aku benci sama dia, aku juga jadi benci sama strawberry, mendengar kata strawberry saja aku benci, Berry sudah sering menyakiti aku dan selama 3 (tiga) tahun aku menunggu sifat jeleknya berubah tapi dia tidak pernah berubah, aku capek banget, aku cuma ingin membuka lembaran baru ”, terangku pada mereka. “Oh jadi gara- gara Si Berry?”, simpul mereka serempak. “Ya, sudah maafkan kita semua ya Nggi yang sudah membuat kamu bete”. “Mungkin salah aku juga karena selama ini aku nggak cerita sama kalian habis beberapa bulan terakhir ini aku sibuk, maaf ya”. “Enggak apa- apa kok Nggi, kita mengerti keadaan kamu, perusahaan tempat kamu bekerja kan sedang maju- majunya, aku tahu dari koran lokal yang belum lama aku baca,” kata Sally. Yang lain mengiyakan. "Ya sudah strawberrynya dibuang saja terus Anggi tiup Lilin dan potong kue, okay? tawar Lisa. "Ide bagus jeng, seru Diva sambil menunjukkan jempolnya. "Ya betul- betul, Ya sip- sip kata yang lain merespon. “Tapi si Mamih dan Babeh juga adik- adik kamu di panggil dulu dong enggak enak kalau keluargamu enggak ikut”, ujar Ela. “Keluargaku lagi pada enggak ada di rumah, mereka semua sedang ada di Yogyakarta, sepupuku married”, jelasku. “Ya, sudah”, ucap Ela. Ela menyalakan kembali lilin- lilin diatas cake yang sempat dimatikan tadi takut berakibat kebakaran. Akhirnya lagu Happy Birthday didendangkan bagai sebuah orkestra kemudian di sambung dengan senandung tiup lilinnya, tiup lilinnya sekarang juga… , kata mereka serempak. Aku bersiap- siap meniup lilin- lilin kecil warna- warni di atas permukaan Blackforest tanpa Strawberry itu di depanku, kepalaku sudah tertunduk dan kedua pipiku sudah menggelembung, tapi… “Eiit, make a wish dulu dong Nggi”, kata Sally mengingatkan. “Oh, ya”, ujarku Aku mengucapkan permohonanku dalam hati. Make a wish aku di hari ulang tahunku ini adalah untuk memohon jodoh yang baik hati dan sesuai type aku yang pasti tidak seperti Si Berry itu, karier yang sukses dan umur yang panjang dan berkah, Amin. Setelah acara tiup lilin selesai. Acara malam itu dilanjutkan dengan pemotongan cake blackforest tanpa strawberry itu. Jujur ini adalah cake Blackforest tanpa strawberry pertama. Aku tidak merasa aneh dengan cake itu bahkan sebaliknya aku merasa tenang. Aku membagi- bagikan potongan cake itu pada semua sahabatku. Aku sangat berterimakasih pada mereka yang sampai untuk soal piring kertas dan garpu plastik ukuran kecilpun mereka sudah mau repot- repot menyiapkan. “Oh iya Met ultah ya Nggi, ini buat kamu kata Lisa sambil memberikan sebuah kado besar padaku selanjutnya menyalami tanganku disertai cium pipi kiri dan kanan dan yang lainpun menyusul”. Aku bahagia sekali malam ini. Bukan saja karena kado- kado mereka tapi satu hal yang penting, ternyata sahabat- sahabatku tidak melupakan hari istimewa bagiku. Oh ya aku mengabadikan party kecil ini di hpku, akan menjadi sebuah kenangan yang indah pastinya dan satu hal lagi yang penting sejak malam itu sahabat- sahabatku tahu kalau aku benci strawberry. Semua pasti ingin tahu siapakah sosok Si Berry itu?. Seperti apakah dia? Seperti tokoh film Hollywood yang tampan? lucu seperti tokoh kartun atau komedian atau seperti artis- artis dalam negeri yang keren- keren atau seperti sosok pria dari desa?. Mm yang pasti Bery itu cukup tampan, rambutnya gondrong dan keriting, kulitnya putih dan memiliki tinggi yang sedang dan berkacamata, walaupun dia berkacamata wajah keren Bery tidak pernah terhalang benda itu dan dia juga seorang yang fashionable. Dia begitu mempesona karena selain faktor- faktor tadi dia adalah personil dari Band Kristal. Perempuan mana yang tidak terpesona dengan daya tarik magnet itu (semua yang ada di diri Bery). Aku yakin tidak ada perempuan di dunia ini yang tidak terpesona padanya. Aku pertama kali bertemu Bery di sebuah studio music tepatnya Studio Dave music. Letak studio itu di wilayah Kelurahan Tamansari, tidak jauh dari Pelabuhan Merak. Malam itu sekitar pukul 20.00 wib. Aku ikut menemani teman- temanku, Arwo, Ican, alm Indro dan Lutfi ngerental alat- alat Band di studio itu. Saat itu yang jaga studio adalah seorang cowok berkulit putih dan rambut keritingnya dikuncir. Aku tidak tahu namanya. Tapi jujur dia begitu menarik. Ada rasa ingin berkenalan padanya namun sayangnya rasa malu menguasai diriku. Akupun mengurungkan niatku itu. Sekilas tentang teman- temanku itu. Kebanyakan dari mereka adalah anak- anak dari kalangan keluarga biasa. Bahkan dibandingkan dengan kehidupanku. Aku lebih baik dari mereka. Tapi ada sebuah sisi dari kehidupan mereka yang membuat aku salut pada mereka. Kepiawaian dan kepercayaan diri mereka dalam bernyanyi dan bermusik membuat aku berdecak kagum. Sedangkan aku selalu mengubur hidup- hidup impian menjadi seorang Pemain musik. Alasannya karena selain aku tak bisa bermain musik aku memiliki rasa demam panggung yang akut, padahal kalau soal bernyanyi suaraku enggak jelek- jelek amat. Aku selalu tidak percaya diri bila harus tampil di depan banyak orang. Padahal dari lubuk hati yang paling dalam aku ingin tampil memukau di depan banyak orang. Kalau soal bermain musik aku yakin pasti bisa jika aku belajar pada ahlinya tapi kalau soal demam panggung sampai sekarang aku belum tahu cara menghilangkannya padahal aku sudah melakukan berbagai cara kecuali ke psikolog. Karena keadaaan financialku tak cukup untuk hal itu. Sebab dengar- dengar untuk konsultasi ke psikolog itu biayanya mahal. Aku selalu tidak percaya diri bila harus tampil di depan banyak orang. Padahal aku ingin tampil memukau di depan banyak orang. Kembali kepada soal teman- temanku. Mereka tergabung dalam sebuah group band yang bernama Love band. Jangan kalian pikir mereka adalah sebuah band yang sering ikut festival dan manggung dari kafe ke kafe. Band mereka hanya sebuah band yang sering ngamen dan lagu mereka beberapa kali diputar di radio lokal. Sekali lagi aku bilang aku salut paada mereka sedangkan aku untuk mengamen saja aku tidak pede (percaya diri). Awalnya aku tidak ikut masuk ke studio. Karena aku pikir buat apa?. Toh aku tidak bisa bermain musik. Untuk menyanyi saja aku grogi. Tapi sungguh di luar perkiraanku. Deni mengajakku masuk ke studio itu. Padahal aku telah menolak ajakan Deni. Aku berbicara pada Deni. “Den, aku di luar sajalah, aku malu nggak bisa main musik” “Enggak apa- apa Nggi, kata Arwo lo di suruh masuk. Akupun mengiyakan ajakan Deni. Aku melangkah mengikuti Deni masuk ke tempat berisi sound, Ampli, efek dan alat- alat band itu. Aku pikir di ruang itu hanya ada aku dan teman- temanku saja ternyata ada Makhluk sekeren dia diruang itu. Aku mulai memperhatikan dia yang sedang menyetel drum. Setelah semua alat ok. Mereka mulai memainkan alat- alat musik. Ican sebagai vokalist, Arwo sebagai bassist, Alm Indro sebagai drummer dan Lutfi sebagai gitaris (rythm plus melodi). Aku mulai memperhatikan mereka latihan, menghargai mereka. Walaupun daya pesona laki- laki keren itu sedikit mengusik hatiku. Lagu yang dimainkan kali ini adalah lagu ciptaan mereka. Judulnya Kerapuhan Cinta. Lagunya easy listening. Syairnya menyentuh hati. Suara Ican ternyata bagus banget tidak kalah di bandingkan vokalis band- band top di negeri ini. Hanya saja Dewi fortuna belum berpihak kepada Ican dan group bandnya. Sumpah, melihat performance mereka dalam bernyanyi dan bermain musik membuat aku ingin sekali seperti mereka. Pintar bernyanyi dan bermain musik. Setelah semua alat ok. Laki- laki penjaga studio itu keluar dari ruangan ini. Aku tiba- tiba saja merasa kehilangan dia. Tapi mau tidak mau aku mulai konsentrasi memperhatiakan teman- teman aku main musik, menghargai mereka. Ican memaksaku beberapakali untuk bernyanyi tapi aku menolaknya, karena belum apa- apa tubuhku sudah gemetaran. Sampai pada saat lagu kedua akan dimainkan. Cowok keren itu masuk lagi dia diminta menggantikan Alm Indro untuk menggebuk drum pada lagu ini. Karena untuk lagu kedua ini ketukannya cukup sulit. Hanya cowok penjaga studio itu yang hapal ketukan drumnya. Aku tidak tahu judul lagu keduanya, aku tak sempat bertanya. Fokusku jadi pecah memperhatikan teman- temanku yang sedang latihan Band dan kepada cowok itu yang sedang bermain drum. Akhirnya 1 (satu) jam berlalu. Keadaan ini memaksa aku dan semua personil Love Band harus pergi dari tempat ini. Tentunya setelah salah seorang dari kita membayar sewa rental Rp. 15.000/jam. Uang itu hasil dari patungan mereka. Oh sebuah kebersamaan yang manis. Karena kami semua membawa uang pas- pasan. Termasuk juga aku hanya ada satu lembar Rp. 1000,- di saku celana jeans abu- abuku. Terpaksa aku mengikuti keinginan mereka berjalan kaki untuk menuju rumah masing- masing. Rute jalan yang kami tempuh yaitu jalan yang sama dengan saat kami berangkat ke studio itu. Sambil menapaki jalan, kami mengobrol apa saja. Termasuk aku dan Ican. “Ican, cowok yang tadi yang jaga studio?”, tanyaku penasaran aku pikir bisa saja dia yang punya studionya. “Ya, kenapa?”, ujar Ican. “Pengen tahu saja”, Jawabku menutupi hal yang sebenarnya. “Namanya Be, Be gitu nama panggilan ya?”, tanyaku lagi “Ya, namanya Berry”, jelas Ican padaku. “Oh Berry”. Keinginanku bermusik bergelora lagi sejak di studio itu. Aku tidak bisa menepisnya. Akupun mengajukan diri untuk bergabung dengan mereka. “Can, Aku mau ikutan mengamen dong, supaya melatih kepercayaan diriku”, kata aku pada Ican. “Enggak apa- apa, Nggi”, jawab Ican. “Terus siapa saja dari kalian yang ikut mengamen?”, tanyaku pada Ican. “Aku, Arwo dan Indro”, “Terus Lutfi?”, tanyaku penasaran kenapa Lutfi enggak ikut kegiatan ini. “Dia kan kerja”, terang Ican “Kalian biasa mengamen dimana?”, tanyaku ingin tahu “Di manasaja” “Di Bus, Di restoran, Diterminal”, kata Ican menerangkan “Wuih seru ya, banyak orang yang memperhatikan kita?”, kataku “Ya, begitulah kita sih orang susah kalau tidak seperti ini mau bagaimana lagi”, ujar Ican mengungkap sisi kehidupan pahit mereka. “Mungkin hari libur kerja saja aku ikut mengamen sama kalian, sabtu atau minggu” “Oh ya sudah, kamu yang menyanyi ya?”. “Suaraku jelek Can” “Enggak apa- apa nanti kalau sudah biasa nyanyi lama- lama bagus kok”. “Mm, Aku kalau menyanyi grogi Can” “Ya sudah kalau begitu kamu yang pegang kolekan saja ya” “Ok”. Note: Kolekan adalah Wadah tempat mengumpulkan uang pemberian orang yang yang habis kita hibur. Setelah pertemuan itu aku tidak pernah bertemu lagi dengan mereka. Karena aku mengurungkan diri menjadi bagian dari mereka. Aku tidak mungkin mengisi liburanku dengan mengamen sebab aku khawatir imageku buruk karena aku seorang karyawan salah satu Perusahaan Bonafit di Kota ini. Sebenarnya untuk orang yang mengerti seni sih mengamen itu kegiatan yang positif- positif saja. Namun aku tidak menampik jika kemungkinan besar Bos aku dan teman- teman di kantor memvonis aku yang tidak- tidak. Aku tidak ingin mengambil resiko besar itu. Makanya beberapa hari kemudian aku mengurungkan diri bergabung dengan mereka aku bilang pada Ican via telepon begini : ” Ican, maaf ya aku enggak jadi ikut gabung mengamen sama kalian soalnya kerja saja tiap hari capek apalagi ditambah dengan mengamen”. “Oh, enggak apa- apa kalau mau kamu begitu Nggi” Sebenarnya aku sedih mengurungkan niatku ini. Karena aku pikir barangkali bila aku bergabung dengan mereka lama- lama aku bisa menjadi backing vocal dari group band mereka. Dan bila suatu hari Dewi Fortuna berpihak kepada kami, kami bisa terkenal dan banyak uang. Tapi sayangnya aku tidak mungkin bergabung dengan mereka karena alasan tadi. Impian aku menjadi backing vocal pun harus terkubur- dalam- dalam. Padahal ini adalah peluang emas bagi cita- citaku sebagai pemusik. Mau tidak mau aku harus pasrah kepada Allah mungkin ini sudah jalan takdirku. Otomatis semenjak aku enggak pernah bermain dengan mereka. Aku samasekali tidak pernah bertemu Berry, cowok keren penjaga studio itu. Kalau kamu pikir aku telah jatuh cinta pada Berry. Itu salah. Aku mungkin baru tahap suka padanya bukan cinta. Karena sebenarnya selama ini aku sedang dekat dengan seseorang namanya Boy. Di hati ini telah tertulis namanya. Boy adalah seorang cowok tampan yang bekerja sebagai karyawan di salah satu perusahan yang ada di Pelabuhan Merak. Sayangnya setelah lama pendekatan denganku laki- laki itu tak kunjung menyatakan perasaannya padaku mungkin karena Boy sudah punya pacar. Soal Boy sudah punya pacar aku baru mengetahuinya belakangan ini. Itu saja dari orang- orang yang dekat dengan Boy. Artinya perasaanku selama ini sedang terombang- ambing. Hubungan aku dan Boy tak pasti ujungnya. Tidak jauh dari rumahku. Dibilangan Jalan Pumas belum lama ini telah dibuka studio musik baru. Studio itu bernama Studio Star. Studio itu berada diantara minimarket dan sebuah Toko yang menjual segala macam produk dari Roti, biscuit sampai rokok, pulsa juga ada. Studio itu berada di lantai kedua, sedangkan lantai pertama adalah garasi pemilik bangunan studio itu dan lantai ketiga adalah tempat Fitnes. Aku tidak pernah menyangka salah satu penjaga studionya adalah adik dari sahabat lamaku, Juan. Aku bertemu Juan sepulang aku lembur dari kantor. Saat itu Juan bersama teman- temannya sedang kumpul- kumpul di seberang studio Star. Disisi jalan Pumas tepatnya di depan Perusahaaan yang membidangi jasa telekomunikasi. Teman- temannya sama sekali tidak ada yang aku kenal. Mereka rata- rata cowok- cowok keren. Aku menghampiri Juan, menyapanya dan mengajak mengobrol. “Hai Juan sedang apa kamu di sini?”, tanyaku pada laki- laki yang umurnya lebih muda dariku itu. “Eh Mbak, sekarang aku bantu dia jaga Studio Star”, jawab Juan sambil menoleh pada seorang laki- laki di sampingnya. “Mbak baru pulang kerja ya”?, tanyanya balik “Ya”, jawabku. Tiba- tiba impianku menjadi seorang pemain musik membuncah bergelora lagi, keluar begitu saja setelah sekian lama terpendam di dalam persembunyiannya. Aku mulai di terbangkan oleh khayalan di benak. “Jika aku menjadi seorang pemusik dan bila suatu saat aku terkenal, betapa hebatnya aku, tentunya menghasilkan rupiah yang sangat banyak”. “Wah pasti seru ya? Aku jadi ingin kursus alat musik, kira- kira belajar memainkan alat musik apa yang tidak butuh waktu lama ya Juan?”, ujarku. “Ya terserah Mbak saja maunya kursus apa?”, kata Juan. “Mbak kursus drum saja deh kalau kursus gitar butuh waktu lama”, tukasku. “Kalau mau belajar bermain gitar bisa sama saya tapi kalau bermain drum di sini ada ahlinya mbak”. Aku terlongo mendengar kata- kata Juan. “Ya Mbak, dia ahlinya, dia drummer”, sambil menepuk pundak sebelah kanan dari laki- laki di samping Juan itu” Laki- laki itu tersenyum mendengar profesinya disebut. “Eh ya, kenalin Mbak dia drumernya Band The Five” “Oh”, kataku heran. Kemudian laki- laki yang disebut drummer itu mengulurkan telapak tangannya dan mengucapkan sebuah nama, Danu. Aku menyambutnya dan juga menyebut namaku, Anggi. “Ya Mas Danu aku mau dong kursus Drum”. “Boleh”. “Tapi harga teman ya?”, rayuku lagi. “Tenang saja Mbak”. “Waktunya terserah Mbak saja” “Ok”. Setelah itu akupun berpamitan. Aku melangkah menuju rumah. Hatiku berbunga- bunga karena mulai ada titik terang dari impianku yang selama ini terpendam. Akhirnya hari pertama aku kursus tiba. Sewaktu di rumah, sebelum berangkat ke studio Star. Belum apa- apa kebiasaan burukku kambuh lagi. Baru niat mau berangkat kursus drum saja tubuhku sedikit gemetaran, grogi. Itu karena aku membayangkan nanti aku mesti berada di tempat yang belum pernah aku datangi, studio Star dan aku mesti bersosialisasi dengan orang- orang baru walaupun di sana ada Juan. Aku memutuskan mengajak keponakanku Lyla, untuk mengurangi rasa grogi ini. Selama menapaki jalan menuju studio Star aku menuntun Lyla, namanya juga masih Balita. Aku mulai merasa tak sabar untuk belajar drum. Aku membayangkan pasti asyik dan keren sekali memainkan salah satu alat musik perkusi itu. Tapi di jarak beberapa meter sebelum Studio itu. Tiba- tiba sesuatu yang aku benci itu muncul lagi, rasa grogi. Tapi mau bagaimana lagi. Aku tidak mungkin membatalkan rencana kursus ini, aku bisa malu. Aku yakin sekarang adalah peluang yang sangat berharga untukku menggapai impianku. Aku berusaha menenangkan diri supaya tidak terjadi hal yang buruk padaku. Hingga garasi dan beberapa anak tangga, yang menghubungkaan garasi dan lantai kedua. Berhasil aku lalui dengan sedikit ketenangan. Sampai di anak tangga terakhir yang menghubungkan garasi dengan studio itu aku dan Lyla berhenti melangkah. Aku mengedarkan pandanganku ke semua arah. Aku kaget. Karena cukup banyak orang di sekitar studio itu. Rupanya mereka sedang asyik mengobrol. Lalu aku mengucapkan Assalamualaikum, sebab aku tidak ingin dibilang orang yang tidak punya sopan- santun. Mereka menjawab salam dan seketika semua mata orang di sana tertuju padaku. Tapi diluar harapanku. Pandangan mata mereka semua membuat aku dilanda grogi. Keringat mulai membasahi dahi. Aku sangat down, malu sekali rasanya. Cepat- cepat aku membasuhnya dengan punggung tanganku. Saat itu juga aku merasa tak mempunyai harga diri. Aku sangat kecewa pada diriku sendiri. Dalam benakku aku berpikir. Apa kata orang tentangku nanti? Padahal aku orang baru di sini. Oh sebuah image yang buruk akan menempel di diriku selamanya, seseorang yang grogian. Sedangkan aku yakin mereka semua memiliki tingkat kepercayaan diri yang tinggi. Sebab itu modal utama untuk mereka memamerkan kepiawaiannya di atas pentas. Aku sangat cemas dan sangat sedih memikirkan semua itu. Tapi mau bagaimana lagi aku sudah sampai di sini aku harus menjalankan rencanaku, kursus drum. Aku mulai menenangkan diri dan mulai bersikap terserah apa kata mereka yang penting aku sekarang kursus drum. Bersama Lyla aku menghampiri salah satu orang diantara mereka yaitu Danu. Dialah guru kursus drum aku. “Mas, sekarang aku siap memulai kursus drumnya”, kataku padanya. “Oh, ya mbak”. “Mbak sudah mempunyai stik drumnya belum?”. “Belum”. “Saya ada Mbak sebentar saya ambilkan dulu”. Aku dan Lyla, keponakanku dengan sabar menunggu Danu yang masuk ke sebuah ruangan di sebelah Studio. Aku mulai membiarkan bola mataku berkelana kesana- kemari memperhatikan isi bangunan yang baru pertama kali aku datangi ini. Mulai melihat dari luar studio yang letaknya beberapa centimeter dari tempat aku dan Lyla berdiri, dinding bangunan lantai kedua ini, keramik putihnya, kaca jendela, kursi, meja dan karpet yang menjadi alas duduk teman- teman Danu yang sedang mengobrol. Untukku ini bukan sekedar bangunan biasa namun bangunan yang berharga. Karena tempat ini merupakan bagian dari langkah awal impianku yang terpendam sejak lama, menjadi pemain musik. Bagiku musik bukanlah sebuah hiburan semata karena sejujurnya musik telah aku kenal sejak lama yaitu : Aku hobi mendengarkan musik sejak di bangku SLTP dan sejak saat itu aku sering menonton acara yang berkaitan dengan musik di TV, Aku beberapa kali menemani teman latihan di beberapa studio musik, jadi aku tahu yang mana suara bas, rhythm atau melodi juga suara drum, aku juga tahu jenis 2 aliran musik yang ada yaitu : Pop, Punk, Rock, Ska, grunge, underground dst, aku pernah belajar bermain gitar sebentar pada seseorang yang ngefans banget sama Alm. curt cobain- vokalis band luar negeri beraliran grunge, aku pernah menjadi vokalis sementara sebuah band bersama sahabatku pada sebuah festival walaupun hasilnya gagal total karena ternyata Mic yang aku pakai tidak bunyi, jadi suaraku sama sekali tidak terdengar di sound kata temanku yang menonton perform aku saat itu. Padahal aku sudah nyanyi sebaik- baiknya dan bergaya sebaik- baiknya, oh sebuah perjuangan yang sia- sia!. Padahal seingatku aku sudah cek mic yang akan aku pakai. Seingatku waktu check alat musik dan check mic mepet sekali. Aku yakin itu karena aku belum berpengalaman di panggung. Itu pertama kalinya bernyanyi dipanggung. Yang nontonnya saja banyak sekali sekitar ratusan orang. Bikin aku grogi sebelum naik pentas. Gara- gara peristiwa itu aku malu berhari- hari dan sempat trauma sama ngeband. Tapi belakangan peristiwa memalukan itu membuat aku dendam. Itu membuatku berpacu ingin menunjukan pada orang banyak, khususnya orang- orang yang tahu tentang peristiwa memalukan itu bahwa aku bisa nyanyi dengan sangat bagus di panggung di suatu hari. Perlu diketahui aku tidak sedikit mengeluarkan uang untuk persiapan mengikuti festival itu, untuk latihan rental alat band beberapa kali di studio, bahkan perhiasan mas putih akupun aku jual buat bayar pendaftaran festival itu. Oh ya musik bisa mempengaruhi perasaan kita begitu saja. Bisa membuat kita terbawa ke suasana senang, sedih, semangat dan romantis. Musik telah lama menjadi hobiku. Karena hidupku tanpa musik adalah hampa. Walaupun aku hanya baru tingkat senang mendengarnya dan baru mengenalnya belum sampai tahap pandai memainkan alat musik dan memahami alat musik. Aku hanya percaya diri bernyanyi di rumah termasuk di kamar mandi, payah ya aku ini!. Apalagi sejak di bangku SMA aku mengakui dengan pasti musik adalah salah satu ukuran tingkat pergaulan seseorang. Jadi orang- orang yang berada di dunia musik biasanya pinter bergaul dan beken. Dan seketika ada satu hal yang membuat mataku berhenti mengembara. Tulisan- tulisan di sticker di pintu studio itu. Tulisan itu bunyinya Studio Star, kapasitas studio maksimal 8 (delapan) orang, satu jam Rp. 20.000, Semua hal tentang musik membuatku takjub karena musik itu keren. Danu keluar dari ruangan itu. Memberikan dua buah stik drum yang terbungkus plastic padaku. “Berapa nih?”, tanyaku padanya. “Rp. 25.000,-“, jawabnya. “Uangnya nanti ya, aku lagi nggak bawa uang”, pintaku. “Ya, tenang saja Mbak”, ujar Danu. Aku mulai merasa Danu itu baik hati. Aku mengikuti Danu menuju alat- alat musik ditempatkan, studio Star itu. Aku kaget ternyata di dalam studio ada dua insan yang berlainan jenis duduk berdekatan. Si cowok memegang bass. Mereka terlihat seperti pasangan serasi si cowok cukup tampan dan si cewek cantik sekali. Dibandingkan dengan aku aku sih tidak ada apa- apanya.Entah apa yang sedang dilakukan dua orang itu. Aku tak peduli. Dibandingkan dengan aku aku sih tidak ada apa- apanya. Aku tak lupa menerangkan nama alat- alat musik itu pada keponakanku. Tujuannya adalah supaya dia suka dengan musik. Orang bilang belajar musik lebih baik dari kecil. Pelajaran drumku yang pertama adalah mengenal nama- nama bagian- bagian alat musik drum itu. Bagian- bagian drum itu adalah : Sner, tomtom 1, tomtom 2, flur, kobel, hi-hat, cymbal kres, cymbal red, kick atau bass drum. Lalu dilanjutkan dengan mengajariku cara memegang stik drum, cara memukul drum. Aku di suruh melakukan apa yang baru saja di ajarkan Danu. Aku melakukannya diiringi grogiku yang kambuh lagi. Keringat membasahi keningku. Mau bagaimana lagi mungkin sudah nasibku. Aku cuek saja. Danu bertanya padaku: “Capek mbak?”, Aku mengangguk. Lalu menyeka peluh itu dengan punggung tanganku. Aku menutupi hal sebenarnya, grogiku. Aku malu sekali mengalami kejadian ini. Dan hanya aku saja yang tahu rasanya. Aku mulai fokus pada Danu yang mengajariku pelajaran selanjutnya, cara memukul drum ketukan dasar. Aku mulai nyaman dengan suasana di sini. Grogiku hilang seketika Aku mulai merasa bermain drum itu susah sekali. Apa yang di ajarkan Danu tidak dapat langsung aku tangkap. Karena aku memang punya kekurangan sejak kecil yaitu lambat menghapal pelajaran yang berupa keterampilan diri atau menghapal gerakan misalnya menghapal gerakan senam, menghapal notasi lagu pada alat musik seruling ( saat di bangku SLTP ada ujian memainkan alat musik seruling pada pelajaran Seni Karawitan), menghapal gerakan silat ( saat di bangku SLTP ada pelajaran silat) juga untuk belajar drum ini. Aku tak yakin bisa melakukan apa yang diajarkan Danu. Tapi di sisi lain aku penasaran ingin bisa menaklukan salah satu alat musik perkusi itu. Sebelum mencoba ketukan dasar itu. Aku minta Danu mencontohkan beberapa kali. Baru aku mencoba sendiri. Namun harapanku mesti pupus lagi. Dua orang yang tadi melihat aksiku menggebuk drum. Tatapan mereka membuat grogiku kambuh lagi. Tapi mau tidak mau aku harus terus menggebuk drum. Walau peluh bercucuran. Karena grogiku tambah parah. Lyla mulai merengek mungkin dia bete dengan suasana di sini. Aku menghampirinya dan bilang padanya : “Sebentar ya Lyla, Bude mau belajar drum biar bisa”, kataku menenangkannya. Lyla biasa memanggilku Bude- panggilan kepada kakak ibu dalam bahasa jawa. Karena Mamanya Lyla adalah adikku. Tapi ketika aku mulai berusaha menaklukan alat musik itu Lyla merengek lagi. “Lyla sama tante itu ya”, aku menyuruh agar Lyla bermain dengan cewek itu. Aku jadi sok akrab. Padahal aku sama sekali tak kenal dengan cewek itu. Lyla tetap merengek dan aku mengacuhkannya karena belajar bdrumnya belum selesai. Beberapa menit kemudian Syifa datang menjemput Lyla untuk dibawa pulang. Seminggu kemudian… Sore ini aku duduk diluar studio bersama teman- teman yang biasa nongkrong disini mereka sekarang sudah akrab denganku. Akupun tidak lagi grogi bila kesini. Mereka yaitu beberapa orang dari personil band The Five : Rey, Rino, Ifan, Danu juga Fanda. Personil The Five yang lain, Okan. Sedang tidak ada di sini. Juan juga sedang tidak ada di sini. Katanya sih ngapelin pacarnya di Serang. Aku tidak tahu entah kemana. Fanda adalah seorang cewek yang rumahnya dekat studio itu.Dia sama sekali bukan bagian dari The Five. Dia sering datang ke studio hanya untuk main saja. Kali ini Fanda hanya ikut nimbrung saja. Aku ikut nimbrung dengan mereka sambil menunggu studio kosong. Karena aku sebentar lagi akan kursus drum. Sekarang studio Star sedang ada yang merental. Mereka sedang latihan menyanyi. Katanya untuk persiapan acara pagelaran musik di salah satu Mall di Kota Cilegon ini. Tiba- tiba kami dikejutkan oleh suara seseorang yang menapaki anak tangga. Kami semua menoleh kearah suara itu, termasuk aku. Aku terkesima pada sosok yang baru datang itu. Dia menenteng tempat gitar, aku pikir pasti ada gitar di dalamnya. Mataku tak berkedip sedetikpun melihat cowok itu, aku terkesima. Dia itu cowok putih dan berambut keriting yang pernah aku lihat di Studio Dave. “Oh Berry”, ujar Fanda. “Hai semua”, sapanya pada kami. “Hai…”, kami membalas serempak. Kemudian Rey dan teman- teman melanjutkan aksinya lagi. Sedangkan Berry mulai sibuk sendiri di ujung sana, dekat meja yang letaknya tidak jauh dari anak tangga. Entah kenapa aku kasihan melihat dia sendirian. Aku melangkah menghampirinya. Aku ingin menemaninya sekaligus tebar pesona. Rupanya dia sedang membersihkan gitar elektrik warna biru muda metalik itu. “Hai lagi apa?”, tanyaku padanya sok akrab. “Biasa”, jawabnya sambil sibuk membersihkan permukaan benda itu dengan tissue. Aku yakin itu gitar kesayangannya. “Gitarnya bagus”, pujiku padanya. Sebuah trik mendekati cowok keren yang baru aku kenal. “Terimakasih”. Pintu studio Star terbuka. Orang- orang dari dalam sana keluar. Aku bergegas masuk ke studio itu dan memulai kembali perjuanganku menaklukan alat musik yang bernama drum itu. Ini adalah kesekian kali aku belajar drum tanpa bimbingan Danu. Aku disuruh mengulangi pelajaran- pelajaran dari Danu yang sudah diberikannya sendirian. Supaya cepat bisa. Dengan santai aku belajar bermain drum sendirian. Ini adalah sesuatu yang sangat menyenangkan bagiku. Tak sengaja aku melihat sosok di balik kaca di dinding studio di depan sana. Aku tidak ingin performku buruk di depan mata Berry. Aku mulai merasa dia special buatku. Aku Pd- Pd- in saja diriku. Setelah aku dengar Berry bertanya pada teman- teman di luar sana. “Dia lagi belajar drum ya?”. Dia masuk ke Studio dan melangkah menghampiriku. Langkah demi langkahnya membuatku terkesima. Aku tak melewatkannya sedikitpun. “Berry senang loh sama cewek yang main drum”, ujarnya. Aku hanya diam. Aku tak bisa berbut apa- apa. Rambut gondrongnya dibiarkan tergerai. Dia keren sekali. Bagiku kejadian ini kejutan dari Tuhan. “Sini Berry ajarin”, tawarnya lagi. Aku mulai grogi di dekati dia. Kemudian dia mulai mengajariku ketukan drum dasar versi lainnya. Aku memberikan kedua stik drum milikku padanya. Aku memperhatikannya. Aku bilang padanya: “Tapi Danu enggak ngajarin begini!”, protesku. “Ya, enggak apa- apa”, ucapnya. Menurutku apa yang diajarkan Berry lebih susah dari yang diajarkan Danu. Setelah Berry mengajariku, dia bilang padaku: “Coba deh”, katanya sambil memberikan kembali padaku kedua stik drum itu. Grogiku hampir melesat. Mau tidak mau aku harus mencoba ketukan dasar versi Berry itu. Keringat mulai membasahi dahi. Tanda hantu grogi telah merasukiku. Bahkan seiring waktu bergulir keringat itu semakin deras. Sedangkan Berry sedari tadi memperhatikanku. Berry mengeluarkan sesuatu dari kantung celana jeansnya. Sapu tangan warna biru muda. “Kamu capek ya?” Aku diam membisu. Bingung harus berkata apa. Tak akan mungkin rasanya bila aku harus jujur memiliki kebiasaan yang buruk ini. “Sekalah keringatmu dengan ini”, katanya lagi sambil memberikan benda itu padaku. Dia mulai menyentuh hatiku dengan perhatiannya. Aku mengusap peluh yang menetes dengan benda tadi. Berry tersenyum padaku. Aku tak membalas senyuman itu. Aku masih bengong menghadapi semua ini. Rasanya dihati campur aduk. Senang bercampur malu. Kemudian dia berlalu pergi tanpa pamit. Aku tak tahu dia hendak kemana. Yang pasti Berry telah berhasil membuat namanya terukir dihatiku. To be continued.. Penulis : Ocha Gladiol

Jumat, 10 Juni 2011

Kabar Special

Buat siapapun yang suka karya aku KITAB CINTA(MAKNA KEINDAHAN CINTA) KARYA OCHA GLADIOL dan ingin gabung ke group PECINTA KITAB CINTA (MAKNA KEINDAHAN CINTA)silahkan kirim pesan ke facebook aku OCHA GLADIOL


SALAM MANIS


OCHA GLADIOL